Melayu Riau(
Jawi: ملايو رياو) adalah salah satu dari banyak
Rumpun Melayu
yang ada di nusantara. Mereka berasal dari daerah Riau yang menyebar di
seluruh wilayah sampai ke pulau-pulau terkecil yang termasuk dalam
wilayah propinsi Riau dan kepulauan Riau. Wilayah kediaman mereka yang
utama adalah di daerah Riau kepulauan, sebagian besar di Bengkalis,
Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah
Pekanbaru yang merupakan kekuatan kerajaan Riau di masa lampau.
Provinsi Riau, terletak di bagian tengah Pulau Sumatera. Sebelah Utara provinsi ini berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Utara dan
Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Provinsi Jambi, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Utara dan
Sumatera Barat, dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Laut Cina Selatan.
Meskipun sebagian besar penduduk Melayu Riau hidup di Pulau Sumatera,
sebagian lain tinggal di kepulauan. Dua pulau yang paling berkembang
dalam gugusan pulau itu adalah Pulau
Batam dan Pulau
Bintan.
Bahasa Melayu Riau adalah bagian dari rumpun
Bahasa Melayu.
Bahasa Riau sendiri memiliki dua dialek, yakni dialek Melayu Riau
Daratan yang digunakan di Pulau Sumatera, dan dialek yang mereka gunakan
di Kepulauan Riau dan di daerah pesisir pantai.
Sastra Melayu Riau
terekam dengan baik dalam pantun, syair, gurindam, hikayat, karmina,
seloka, puisi-puisi tradisional, peribahasa lokal, mantra-mantra, dan
kisah-kisah roman, serta bentuk-bentuk ekspresi lainnya yang mereka
gunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka.
Etimologi
Melayu (
Aksara Tionghoa Tradisional:
末羅瑜國;
pinyin:
Mòluóyú Guó), berasal dari kata
Malaya dvipa dari kitab Hindu
Purana yang berarti
tanah yang dikelilingi air yang merujuk pada sebuah
Kerajaan Melayu Kuno di
Jambi pada abad ke-7.
[1][2]
Pantai timur Sumatera khususnya Riau termasuk dalam kawasan
swapraja atau berkepemerintahan sendiri.
Nama
riau sendiri ada tiga pendapat. Pertama, dari
kata Portugis,
rio berarti
sungai.
[3][4] Pada tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri
Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, sekaligus mengejar pengikut
Sultan Mahmud Syah yang mengundurkan diri menuju
Kampar setelah kejatuhan
Kesultanan Malaka.
[5][6] Pendapat kedua
riau berasal dari kata
riahi yang berarti air laut, yang diduga berasal dari kitab
Seribu Satu Malam.
[4]
Pendapat ketiga diangkat dari kata
rioh atau
riuh berasal dari penamaan rakyat setempat yang berarti ramai, Hiruk pikuk orang bekerja, yang mulai dikenal sejak
Raja kecik memindahkan pusat kerajaan melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719.
[4] Nama ini di pakai sebagai salah satu dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan
Riau,
Lingga,
Johor dan
pahang. Namun, akibat dari
Perjanjian London tahun 1824 antara
Belanda dengan
Inggris
berdampak pada terbelahnya kerajaan ini menjadi dua. Belahan
Johor-Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, Sedangkan belahan
Riau-Lingga berada dibawah pengaruh Belanda.
[7][8]
Dibawah pengaruh Belanda tahun 1905-1942, nama Riau dipakai untuk sebuah
karesidenan
yang daerahnya meliputi kepulauan Riau serta pesisir timur Sumatera
bagian tengah. Demikian juga dalam zaman Jepang relatif masih di
pertahankan. Setelah propinsi Riau terbentuk tahun 1958 nama tersebut
masih dipergunakan hingga kini.
Asal-usul
Riau diduga telah dihuni sejak 100.000-400.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman
Pleistosen
di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi
pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak
penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan
dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan
beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat
batu itu. Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau
adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Jawa
Tengah.
[9][10]
Imperium Melayu Riau juga merupakan penyambung warisan
Kedatuan Sriwijaya yang berbasis agama
Buddha. Ini bukti ditemukannya
Candi Muara Takus yang diduga merupakan pusat pemerintahan Sriwijaya, yang berasitektur menyerupai candi-candi yang ada di
India. Selain itu,
George Cœdès juga menemukan persamaan struktur pemerintahan Sriwijaya dengan kesultanan-kesultanan melayu abad ke-15.
[11] Kerajaan Melayu dimulai dari Kerajaan
Bintan-Tumasik abad ke-12, disususul dengan periode Kesultanan-kesultanan melayu Islam.
Teks terawal yang membahas mengenai dunia melayu adalah
Sulalatus Salatin atau yang dikenal sebagai
Sejarah Melayu karya
Tun Sri Lanang, pada tahun 1612
[12]. Menurut kitab tersebut,
Bukit Seguntang adalah tempat dimana datangnya
Sang Sapurba yang dimana keturunannya tersebar di alam melayu.
Sang Mutiara menjadi raja di
Tanjungpura dan
Sang Nila Utama menjadi raja di
Bintan sebelum akhirnya pindah ke
Singapura.
[13]
Agama
"Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam
dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang
sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak,
negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat
yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi.
Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang
berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi".[14]
— Tonel, 1920.
Masyarakat melayu pada umumya identik dengan
Islam yang menjadi fondasi dari sumber adat istiadatnya. Oleh karena itu, adat istiadat orang Melayu Riau
bersendikan syarak dan
syarak bersendikan Kitabullah.
[15][16]
Sebelum kedatangan Islam ke nusantara, banyak bagian wilayah berada
di bawah Kerajaan Sriwijaya antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang
sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha.
[17] Pada masa itu Islam sudah diperkenalkan ketika Maharaja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, yang berisi permintaan untuk mengirimkan utusan untuk menjelaskan hukum Islam kepadanya.
[18]
Ilustrasi pengislaman Raja-raja Melayu.
Pada abad ke-12, masuknya Islam ke nusantara dibawa melalui
Samudera Pasai yang telah terlebih dahulu dan diakui sebagai perintis kerajaan Islam di nusantara pada zamannya.
[19]
Proses ekspansi Islam terjadi melalui perdagangan, pernikahan dan
kegiatan misionaris ulama Muslim. Faktor-faktor ini menyebabkan
penyebaran damai dan pertumbuhan pengaruh Islam di seluruh alam melayu.
Faktor kuat diterimanya Islam oleh masyarakat melayu adalah aspek
kesetaraan manusia, yang menurut ideologi masyarakat kala itu menganut
sistem
kasta dalam Hindu, dimana masyarakat kasta kelas bawah lebih rendah dari anggota kasta yang lebih tinggi.
[20]
Masa keemasan ketika
Malaka
menjadi sebuah kesultanan Islam. Banyak elemen dari hukum Islam,
termasuk ilmu politik dan administrasi dimasukkan ke dalam hukum Malaka,
terutama
Hukum Qanun Malaka. Penguasa Melaka mendapat gelar '
Sultan'
dan bertanggung jawab terhadap agama Islam. Pada abad-15 Islam menyebar
dan berkembang ke seluruh wilayah Melaka termasuk seluruh
Semenanjung Malaya,
Kepulauan Riau,
Bintan,
Lingga dan beberapa wilayah di pesisir timur Sumatera, yaitu
Jambi,
Bengkalis,
Siak,
Rokan,
Indragiri,
Kampar, dan
Kuantan. Malaka dianggap sebagai katalisator dalam ekspansi Islam ke daerah lainnya seperti
Palembang,
Sumatera,
Patani di
Thailand selatan, Utara Kalimantan,
Brunei dan
Mindanao.
[21]
Disisi lain, orang
Sakai dan
Talang Mamak
masih menganut animisme. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak
penduduk Sakai dan Talang Mamak yang sudah memeluk agama Islam. Meski
begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka
mempraktekkan ajaran nenek moyang mereka.
Bahasa
Raja Ali Haji, seorang
pujangga sekaligus peletak dasar pertama tata bahasa Melayu lewat kitab
Pedoman Bahasa yang menjadi
kamus eka bahasa pertama di Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena
Sejarah tersebut di mulai pada jaman Kerajaan Sriwijaya, saat itu Bahasa
Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan di Kepulauan Nusantara. Awalnya
pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke Johor, dan akhirnya
pindah ke Riau. Sejak itulah Riau mendapat predikat sebagai pusat
kerajaan Melayu tersebut. Karena itu bahasa Melayu jaman Malaka terkenal
dengan Melayu Malaka, bahasa Melayu jaman Johor terkenal dengan Melayu
Johor dan bahasa Melayu jaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu Riau.
Bahasa Melayu Riau sudah dibina sedemikian rupa oleh
Raja Ali Haji,
sehingga bahasa ini sudah memiliki standar pada zamannya dan juga sudah
banyak dipublikasikan, berupa; buku-buku sastra, buku-buku sejarah dan
agama pada era sastra Melayu klasik pada abad-19.
Dialek
Riau memiliki berbagai macam subdialek Melayu yang dapat dibagi
menjadi dua, yaitu subdialek Daratan dan subdialek Kepulauan. Subdialek
Daratan mempunyai ciri-ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa
Melayu Minangkabau, sedang subdialek Kepulauan mempunyai ciri fonologis
yang berdekatan dengan bahasa Melayu Malaysia.
Di samping berbagai ciri khas lain, kedua subdialek ini ditandai
dengan kata-kata yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata-kata yang
berakhir dengan vokal /a/; pada subdialek Daratan diucapkan dengan vokal
/o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /e/lemah. Beberapa
contohnya antara lain: Penyebutan kata /bila/, /tiga/, /kata/ dalam
Bahasa Indonesia akan menjadi demikian dalam Bahasa Riau Daratan:
/bilo/, /tigo/, /kato/. Sementara dalam Bahasa Riau Kepulauan menjadi:
/bile/, /tige/, /kate/.
Adat dan budaya
Sistem kekerabatan
Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru
yang biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka
punya anak pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan
neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan
rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan
atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.
Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil
long atau sulung, anak kedua
ngah/
ongah, dibawahnya dipanggil
cik, yang bungsu dipanggil
cu/
ucu. Biasanya panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan, misalnya
cik itam jika
cik itu 'berkulit' hitam,
ngah utih jika
Ngah itu 'berkulit' putih,
cu andak jika
Ucu itu orangnya pendek,
cik unggal jika si
buyung
itu anak tunggal dan sebagainya. Tetapi terkadang bila menyapa orang
yang tidak dikenal atau yang baru mereka kenal, mereka cukup memanggil
dengan sapaan
abang,
akak,
dek, atau
nak.
Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal
keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis
hubungan kekerabatan yang
patrilineal sifatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatera sebagian menganut faham suku yang
matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan
hinduk atau cikal bakal. Setiap suku dipimpin oleh seorang
penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi
Datuk Penghulu Kampung atau Kepala Kampung. Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti
batin,
jenang,
tua-tua dan
monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.
Rumah Melayu Riau, Lipat Kajang.
Rumah tradisional
Dalam masyarakat Melayu tradisional, rumah merupakan bangunan utuh
yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah,
tempat beradat berketurunan, tempat berlindung bagi siapa saja yang
memerlukan. Oleh sebab itu, rumah Melayu tradisional umumya berukuran
besar. Selain berukuran besar, rumah Melayu juga selalu berbentuk
panggung atau rumah berkolong, dengan menghadap ke arah matahari terbit.
Rumah Melayu Riau, Atap Lontik/Lentik.
Jenis rumah Melayu meliputi rumah kediaman, rumah balai, rumah ibadah
dan rumah penyimpanan. Penamaan itu disesuikan dengan fungsi dari
setiap bangunan. Secara umum ada lima jenis rumah adat Melayu Riau
yaitu:
- Balai Salaso Jatuh atau Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar.
- Rumah Melayu Atap Limas Potong.
- Rumah Melayu Atap Belah Bubung.
- Rumah Melayu Atap Lipat Kajang.
- Rumah Melayu Atap Lontik.
Pakaian tradisional
- Lihat pula: Baju Kurung
Baju Melayu Cekak Musang dan kain samping serta Baju Kurung dengan selendang dan sarung.
Baju Melayu adalah pakaian umum bagi lelaki yang digunakan secara
umum oleh orang Melayu dan rumpunnya di nusantara, khususnya Riau. Ada
dua jenis yang pertama adalah baju kemeja lengan panjang yang memiliki
kerah kaku mengangkat dikenal sebagai kerah
Cekak Musang.
Sepasang baju dan celana biasanya yang terbuat dari jenis yang kain yang
sama yakni sutra, katun, atau campuran polyester dan katun. Kain
samping merupakan kain pelengkap yang sering digunakan untuk dipadu
padankan dengan Baju Melayu, baik terbuat dari kain songket atau kain
sarung. Sebuah tutup kepala berwarna hitam yang biasa dikenal sebagai
songkok atau
peci dipakai untuk menyempurnakan pakaian tersebut.
Sedangkan bagi perempuan adalah baju
Kurung berbentuk gaun panjang longgar, yang terdiri dari rok dan blus. Biasanya bagian rok terbuat dari kain panjang berbahan
songket,
sarung atau
batik dengan lipatan di satu sisi.
Masakan khas
Hidangan Nasi Lemak tradisional lengkap bersama belacan, gulai ayam, telur rebus, kacang goreng dan sambal teri.
Masakan tradisional Melayu Riau memiliki banyak persamaan dengan masakan Rumpun
Melayu lainnya dan Sumatra pada umumnya yang banyak menggunakan rempah dan santan untuk menghasilkan makanan
gulai
yang berbumbu, gurih, berlemak, dan kental hingga berwarna kemerahan
dan kuning tua. Kebanyakan menu masakan memakai bahan dasar ikan, dari
patin,
lomek,
baung,
teri,
tengiri.
pari, serta udang-udangan, dan seringkali memakai daging
kerbau atau
lembu. Bumbu tambahan yang umum digunakan adalah
belacan. Hampir setiap masakan Melayu disajikan bersama nasi putih atau dengan
nasi lemak dan biasanya disantap menggunakan tangan.
Sumber : www.wikipedia.com